Oke, hari ini aku mau ngepost tentang Fotografi Konseptual yang aku ambil dari salah satu artikel dari Kompas yang ditulis oleh Arbain Rambey. Oke langsung aja yah!
Ada banyak penggolongan fotografi: fotografi jurnalistik, fotografi iklan, fotografi studio, fotografi lanskap, fotografi masakan, fotografi interior/eksterior, fotografi anak, dan sebagainya. Namun, dari semua penggolongan itu, fotografi sesungguhnya terbagi dalam dua ranah, yaitu ranah obyektif dan ranah subyektif.
Fotografi dalam ranah obyektif adalah foto-foto yang tampil sesuai kebutuhan bersama antara pemotret dan yang melihat foto itu. Yang masuk dalam kategori ini adalah foto jurnalistik dan juga foto-foto produk yang lain seperti contoh-contoh di alinea pertama tulisan ini. Ada sebuah kesepakatan tak tertulis dalam ranah ini sehingga seakan sudah ada standar bahwa foto harus begini dan begitu.
Adapun fotografi ranah subyektif adalah fotografi yang semata keluaran dari sang fotografer dengan medium fotografi, apa pun bentuknya. Perkara keluaran itu akan diterima orang atau tidak bukanlah masalah.
Kalau dibuatkan ibarat dalam dunia sastra, ranah subyektif ini mirip puisi. Sang penyair sungguh bebas mengungkapkan perasaannya dalam baris-baris kata dan kalimat. Akan ada orang yang suka, ada pula orang yang tidak suka pada sebuah puisi.
Salah satu contoh konkret fotografi ranah subyektif adalah foto-foto seni seperti yang ditawarkan di galeri-galeri foto. Akan ada orang yang sangat suka sebuah foto, tetapi ada pula orang yang kalau diberi dengan gratis pun akan menolak.
Fotografi ranah subyektif, sesuai namanya, punya pendekatan sangat subyektif. Rujukan bagus dan tidak bagus sama sekali tidak ada dan memang seharusnya tidak ada. Fotografi ranah ini tidak punya tolok ukur untuk bagus/tidak bagus, benar/salah, tetapi punya titik berat pada: apakah gagasan sang fotografer bisa diterima dan dimengerti oleh orang yang menikmati karya itu.
Dalam dunia nyata, ada fotografi yang terletak antara ranah obyektif dan ranah subyektif sekaligus, misalnya foto-foto seni pertunjukan. Pendekatan pemotretan seni pertunjukan sangatlah personal, tetapi foto seni pertunjukan adalah foto yang lumrah muncul di media massa sebagai foto jurnalistik juga.
Fotografi konseptual
Untuk lebih memahami fotografi dalam ranah subyektif, kita bisa menyaksikan pameran foto ”Toys” karya Agus Leonardus. Secara spesifik, foto-foto dalam pameran ”Toys” adalah fotografi konseptual, atau fotografi yang bertolak dari sebuah konsep dan pemikiran sang fotografernya.
Coba kita baca pengantar Agus Leornardus untuk pameran tunggalnya kali ini.
”Meski memperoleh perlakuan kasar dan tidak menyenangkan hatinya, anak kecil tidak kuasa melawan orang yang lebih dewasa. Ukuran fisiknya yang relatif kalah besar, menyurutkan nyalinya untuk memberikan perlawanan walau ia merasa telah diperlakukan tidak adil.
Perlakuan kasar yang diperolehnya bisa tersimpan lama di hatinya. Anak yang memperoleh perlakuan kasar semasa kecilnya bisa menjadi pemberang dan cenderung menyukai tindak kekerasan ketika ia dewasa.
Perlawanan yang dilakukan si kecil atas kekesalannya sering kali dilampiaskan terhadap makhluk lain yang lebih lemah daripadanya. Yang paling dekat dengan anak-anak adalah mainannya. Maka, dibantinglah boneka atau mainan lainnya hingga hancur lebur. Mereka, mainan itu, tentu tidak bisa memberikan perlawanan terhadap perusaknya karena mereka lemah tak bernyawa.
Mainan yang telah porak poranda menjadi artefak nyata dari pelampiasan kemarahan dan bentuk perlawanan kaum tertindas. Yang kuat menindas yang lemah, yang lebih lemah menindas yang lebih lemah lagi. Demikian seterusnya.
Dalam rangkaian ini, mainan anak menjadi makhluk yang paling lemah. Andaikata mereka punya nyawa dan energi, tentu mereka juga akan melakukan perlawanan atau minimal memperlihatkan ekspresi kemarahan.”
Pemikiran panjang
Agus menuturkan, dia sudah mulai memikirkan proyeknya ini sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
”Dan saya mulai mengumpulkan aneka permainan rusak sejak tahun 2000. Satu per satu saya pilah yang sesuai konsep dalam benak saya, lalu saya potret,” katanya kepada Klinik Fotografi Kompas (KFK) pekan lalu di ruang pamerannya.
Menyaksikan pameran ”Toys”, kita seakan masuk dalam ruang penyiksaan. Dengan dinding ruang pameran dicat hitam dan dengan penerangan beberapa lilin saja, aneka foto permainan rusak memang tampil mengerikan sekaligus mengenaskan.
”Suasana memang saya bangun begini sesuai dengan apa yang saya pikirkan tentang kekejaman skala kecil yang menular ini,” papar Agus.
Hanya begitukah fotografi konseptual? Tidak sedangkal itu.
Selain konsep dan penjabaran konsep harus melalui sebuah ”skenario” yang matang, sisi fotografi juga harus tetap kuat. Kalau Anda perhatikan, walau yang dipotret adalah mainan-mainan yang sudah rusak, ”Toys” menampilkan teknik fotografi yang prima.
Sudut pemotretan, pemilihan mainan yang akan dipotret, dan juga pencahayaan sungguh merupakan keluaran yang matang dan dalam sisi teknik sangatlah terpuji.
Bagi Agus, orang suka atau tidak suka pada pamerannya, itu bukanlah masalah utama. Dalam pameran ”Toys”, Agus menumpahkan keresahannya pada sebuah problem yang sesungguhnya ada di depan mata kita: kekejaman sehari-hari.
Psikolog dan para ahli pendidikan mungkin punya rumusan untuk masalah ini. Namun, sebagai fotografer, Agus Leonardus bereaksi dengan kameranya. Maka, lahirlah ”Toys” untuk Anda nikmati dan renungkan. Arbain Rambey
0 comments:
Post a Comment